Perundang – Undangan
1.
Pengertian Perundang – undangan
Kata perundang-undangan dapat berarti kegiatan atau fungsi, yaitu
perbuatan membentuk peraturan Negara, baik pusat maupun daerah, dan dapat pula
berarti hasil atau produk dari kegiatan atau fungsi tersebut.
Perundang-undangan memang merupakan suatu fungsi Negara yang selalu
ada pada setiap Negara apapun juga cita Negara (staatsidee) yang dianutnya.[1]
2.
Perundang – undangan Sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959
Berdasarkan atau bersumber pada undang undang dasar sementara 1950
dan konstitusi 1949 peraturan perundangan di Indonesia terdiri dari;
a)
Undang
Undang Dasar (UUD)
b)
Undang
Undang (biasa) dan undang undang darurat
c)
Peraturan
pemerintah tingkat pusat
d)
Peraturan
pemerintah tingkat daerah
3.
Perundang – undangan Setelah Dekrit Presiden 5 juli 1959
1.
Bentuk
dan tata urutan peraturan perundangan
Untuk mengatur dan menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, pemeritah
mengeluarkan berbagai macam peraturan negara yang biasanya disebut peraturan
perundangan. Semua peraruran perundangan yang dikeluarkan harus berdsarkan
dan/atau melaksanakan undang undang dasar dari pada negara tersebut. Dengan
demikian semua peraturan negara Republik Indonesia harus berdasarkan UUD 1945.
Adapun bentuk bentuk dan tata urutan prundang undangan di Indonesia
sekarang ini menurut Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 (kemudian ditetapkan MPRS
No. V/MPR/1973) adalah sebagai berikut:
a)
Undang
undang dasar Rep[ublik Indonesia tahun 1945 (UUD – 1945)
b)
Ketetapan
mejlis permusyawaratan Rakyat
c)
Undang
undang dan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang undang (PERPU)
d)
Peraturan
pemerintah (PP)
e)
Keputusan
presiden (KEPRES)
f)
Peraturan
peraturan peraturan pelaksanaan lainnya
Tata urutan (hirarki) peraturan perundangan tersebut di atas tidak
dapat diubah atau dipertukarkan tingkat kedudukannya oleh karena tata urutan
peraturan perundangan disusun berdasarkan tinggi rendahnya badan penyusun
peraturan perundangan dan menunjukkan kepada tinggi rendahnya timgkat kedudukan
masing masing peraturan negara tersebut. Tata urutan prundangan dimaksudkan,
bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang yang
lebih tinggi.
1.
Undang
undang dasar 1945
Undang
undang dasar adalah peraturan yang tertinggi dalam negara, yang memuat
ketentuan ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber dari peraturan
perundangan.
2.
Ketetpan
MPR
Mengenai
ketetapan MPR ada dua macam:
a)
Ketetapan
MPR yang memuat garis garis besar dalam bidang legislative dilaksanakan dengan
undang undang
b)
Ketetapan
MPR yang memuat garis garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan
keputusan presiden.
3.
Undang
undang
Undang
undang adalah salah satu bentuk perundangan yang diadakan untuk melaksanakan
undang undang dasar atau ketetapan MPR. Undang undang yang dibentuk berdasarkan
ketentuan undang undang dasar dinamakan undang undang organic.
4.
Peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang undang
PERPU
diatur dalam UUD – 1945 pasal 22 sebagai berikut
a)
Dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai ganti undang undang;
b)
Peraturan
pemerintah itu harus mendapat persetujuan dari
dewan perwakilan reakyat dalam persidangan;
c)
Jika
tidak mendapat persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus dicabut
Berkanaan dengan PERPU ini dijelaskan dalam UUD – 1945, bahwa
peraturan seperti ini memang perlu diadakan, supaya keselamatan negara dijamin
oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah bertindak
lekas dan cepat.
5.
Peraturan
pemerintah dan keputusan presiden
Di
samping kekuasaan membentuk PERPU, UUD – 1945 , juga member kekuasaan pada
presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang undang
sebagai mana mestinnya. (pasal 5 ayat 2 UUD – 1945
Selain
peraturan pemerintah pusat yang ditetapkan oleh presiden, presiden berhak juga
mengeluarkan keputusan presiden yang berisi keputusan yang bersifat khusus (
sinmalig = berlaku atau mengatur suatu hal tertentu saja) untuk melaksanakan
ketentuan undang undang yang bersangkutan, ketetapan MPR (S) dalam bidang
eksekutif atau peraturan pemerintah pusat.
4.
Hakikat perundang undangan
Pembuatan hokum
yang dilakukan secara sengaja oleh badan yang badan yang berwenagng itu
merupakan sumber yang bersifat hokum yang paling utama. Kegiatan dari badan
tersebut disebut kegiatan perundang undangan yang menghasilkan subtansi yang
tidak diragukan lagi kesalahannya. Hokum yang dihasilkan ini disebut hokum yang
diundangkan.
Suatu perundang
undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciri sebagai beikut:
1.
Bersifat
umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat
sifat yang khusus dan terbatas.
2.
Bersifat
universal. Ia di ciptakan untuk menghadapi peristiwa peristiwa yang akan
dating, yang belum jelas bntuk dan konkritnya. Oleh kerena itu ia tidak dapat
dirumuskan untuk mengatsi peristiwa peristiawa yang tertentu saja.
3.
Ia
memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memprbaiki dirinya sendiri. Adalah lazim
bagi sutu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan
dilakukannya peninjauan kembali.
Di banding dengan aturan kebiasaan, maka perundang undangan
memperlihatkan karakteristik, suatu norma bagi kehidupan social yang lebih
matang, khususnya dalam hal kejelasan dan kepastiannya. Hal ini tidak terlepas
dari kaitannya dengan pertumbuhan Negara itu sendiri. Aturan kebiasaan bias
dikatakan mengurusi hubungan antara orang dengan orang. Sedang prundang
undangan antaara orang dengan Negara. Bentuk perundang undangan itu tidak akan
muncul sebelum muncul pengertian Negara sebagai pengamban kekuasan yang
bersifat sentral dan tertinggi.[2]
Bebrapa kelebihan dari perundang undangan dibanadingksn dengan norma
norma lain adalah[3]
1.
Tingkat
prediktibilitasnya yang besar. Hal ini
berhubungan dengan sifat prospektif dari perundang undangan, yaitu
pengaturannya ditujuksn ke masa depan. Oleh karena itu pula ia harus memenuhi
syarat agar orang orang tahu apa atau
tiongkah laku apa yang diharapkan dari mereka pada waktu yang akan dating dan
bukan yang sudah lewat. Dengan demikian, peraturan prundang undangan senantiasa
dituntut untuk memberitahu secara pasti terlebih dahulu hal hal yang di
harapkan untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh anggota masyarakat. Asas
asas hokum seperti “asas tidak berlaku surut” memberikan jaminan bahwa
kelebihan yang demikian itu dapat dilaksanakan secara seksama.
2.
Kecuali
kepastian yang lebih mengarah kepada bentuk formal di atas, perundang undangan
juga member kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan
dibuat, maka pasti pulalah sebuah nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan
tersebut. Oleh karena itu orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah nilai
itu bisa diterima atau tidak.
Di samping kelebihan kelebihan tersebut beberapa kelemahan yang
terkandung dalam perundang undangan adalah:
1.
Kekakuannya.
Kelemahan ini muncul berhubung kehendak perundang undangan menampilkan
kepastian.
2.
Keinginan
perundang undanga untuk membuat rumusan rumusa yang bersifat umum mengandung
resiko, bahwa ia mengabaikan dan dengan demikian memperkosa perbedaan perbedaan
atau ciri ciri khusus yang tidak dapat disama ratakan begitu saja.
5.
Hakikat social perundang undangan
Sebagai sumber hokum, perundang undangan mempunyai kelebihan dari
norma norma social yang lain, karena ia dikaitkan kepada kekuasaan tertinggi
dalam suatru Negara dan karenanya pula ia memiliki kekuasaan memaksa yang besar
sekali. Dengan demikian adalah mudah bagi perundang undangan untuk menentukan
ukuran ukurannya sendiri tanpa menghiraukan tuntutan tuntutan dari bawah.
Namun demikian, ciri – ciri
demokratis masyarakat – masyarakat dunia sekarang ini memberikan caonya
sendiri terhadap cara cara perundangan – undangan itu diciptakan, yaitu
menghendaki masuknya unsur – unsur social ke dalam perundang – undangan.[4]
Menghadapi perkembangan yang demikian itu tampaknya menjadi semakin kaburlah
pemisahan secara ketat antara konsep sumber – sumber hokum.
6.
Bahasa perundang undangan
Bahasa dan ragam bahasa yang dipakai dalam perundang undangan
sekarang adalah unik untuk zamannya, karena dalam sejarah, tidak selalu
dijumpai penggunaan ragam bahasa yang sama dengan yang dipakai sekarang ini.
Ragam bahasa prundang - undangan yang digunakan sekarang mempunyai cirinya
sendiri yang khas, yaitu berusaha untuk memaksa melalui penggunaan bahasa
secara rasional, oleh karena itulah kita bisa melihat rincian dari cirri utama
tersebut kedalam cirri – cirri berikut ini, yaitu:
1)
Bebas
dan Emosi;
2)
Tanpa
perasaan dan
3)
Datar
seperti rumusan matematik [5]
Dalam hubungan demngan penggunaan masalah penggunaan bahasa ini,
berikut ini dibicarakan dua fungsinya, yaitu :
1)
Sebagai
alat komunikasi;
2)
Sebagai
suatu ragam teknik [6]
7.
Perundang undangan sebagai instrument kebijakan
Salah satu hukum modern adalah penggunaannya secara aktif dan sadar
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (trubek 1972 : 4,5). Kesadaran tersebut
menyebabkan, bahwa hukum modern itu menjadi begitu instrumental sifatnya dengan
asumsinya, bahwa kehidupan sosial itu bisa di bentuk oleh kemauan sosial
tertentu, seperti kemauan sosial dari golongan elit dalam masyarakat.[7]
Penggunaan hukum sebagai instrumen demikian itu merupakan
perkembangan muktahir dalam sejarah hukum. Untuk bisa sampai pada tingkat
perkembangan yang demikian itu memang diperlukan persyaratan tertentu, seperti
timbulnya pengorganisasian yang demikian itu tentunya dimungkinkan oleh adanya
kekuasaan di pusat yang makin efektif, dalam hal ini tidak lain adalah Negara.[8]
8.
SYARAT MENGIKAT DAN BERLAKUNYA SUATU UNDANG-UNDANG
Syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang ialah
diundangkan dalam Lembaran Negara (LN)[9]
oleh Menteri/Sekretaris Negara.
Tanggal mulai berlakunya suatu undang-undang menurut tanggal yang
ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Jika tanggal berlakunya itu tidak
disebutkan dalam undang-undang, maka undang-undang itu mulai berlaku 30 hari
sesudah diundangkan dalam L.N. untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah-daerah
lainnya baru berlaku 100 hari setelah pengundangan dalam L.N. Sesudah syarat
tersebut dipenuhi, maka berlakulah suatu fictie dalam hukum : “Setiap orang
dianggap telah mengetahui adanya sesuatu undang-undang.” Hal ini berarti
bahwa jika ada seseorang yang melanggar undang-undang tersebut, ia tidak
diperkenankan membela atau membebaskan diri dengan alasan :“Saya tidak tahu
menahu adanya undang-undang itu”.
Berakhirnya kekuatan berlaku suatu undang-undang
Suatu undang-undang tidak berlaku lagi jika :
a.
Jangka
waktu berlaku telah ditentukan oleh undang-undang itu telah lampau.
b.
Keadaan
atau hal untuk mana undang-undang itu diadakan sudah tidak ada lagi.
c.
Undang-undang
itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih
tinggi.
Telah diadakan undang-undang yang baru yang isinya bertentangan
dengan undang-undang yang dulu berlaku.[10]
9.
ASAS-ASAS PERATURAN PERUNDANGAN
Berikut beberapa asas peraturan perundangan yang di antaranya:
a)
Undang-undang
tidak berlaku surut,
Asas itu berdasarkan pada:
1.
Pasal
3“ Algemene Bepalingen van Wetgeving” (disingkat A.B.) yang
berbunyi “Undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai
kekuatan yang berlaku surut”.
2.
Pasal
1 ayat 1 kitab Undang-undang Hukum Pidana,
yang berbunyinya “Tiada peristiwa dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan
suatu aturan perundang-undangan pidana yang mendahulukan”.
Arti
dari asas ini adalah, bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap
peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut, dan terjadi setelah
undang-undang itu dinyatakan berlaku.
b)
Undang-undang
yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi pula.
Mengenai
asas ini, telah diterangkan di depan pada bagian tata dan urutan perundang -
undangan, yaitu peraturan peraturan yang dibuat oleh badan lebih atau lenbaga
yang lembih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan isinya dengan hokum
yang dihasilkan badan atau lembaga yang lebih tinggi.
c)
Undang-undang
yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum.
Maksud
dari asas di atas adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan
undang-undang yang menyebut peristiwa itu,walaupun untuk peristiwa khusus
tersebut dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang
lebih luas atau lebih umum yang dapat juga mencakup peristiwa khusus tersebut.
Contoh dalam hukum positif tertulis di
Indonesia adalah hubungan antara pasal-pasal A.B. (lex generalis, oleh
karena berlaku umum dalam tiap bidang perundang-undangan) dengan pasal 1
ayat 2 kitab undang-undang hokum pidana
yang berbunyi seperti berikut: “apabila terjadi
perubahan pada perundang-undangan setelah saat peristiwa terjadi, maka
diperlakukan ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa”.Pasal ini merupakan
“lex specialis”, karena berlaku khusus untuk perundang-undangan hokum pidana.
d)
Undang-undang
yang berlaku kemudian membatalkan Undang-undang yang terdahulu (yang mengatur
hal tertentu yang sama)
Yang
dimaksudkan dengan asas di atas adalah, bahwa undang-undang yang lain( yang
lebih dahulu berlaku) yang telah mengatur suatu hal tertentu, tidak berlaku
lagi jika ada undang-undang baru (yang berlaku belakangan) yang mengatur pula
hal tertentu tersebut, akan tetapi jika
berlainan atau berlawanan dengan undang- undang lama tersebut( sama dengan
pencabutan undang-undang secara diam-diam). Terhadap asas ini, maka oleh pasal
1 ayat 2 kitab undang-undang hukum pidana
dimungkinkan pengecualiannya, oleh karena berdasarkan pasal tersebut,
undang-undang lama yang makna atau tujuanya bertentangan dengan undag-undang
baru dapat diberlakukan, asalkan memenuhi syarat-syaratnya.
e)
Undang-undang
tidak dapat diganggu gugat[11]
asas ini termaktub dalam undang-undang dasar sementara pasal 95
ayat 2. Namun tidak semua Negara memberlakukan asas ini misalnya , amerika
serikat, di Negara belanda dimungkinkan
pengujian undang-undang dasar 1945 tidak ada satu pasal pun yang memuat
pasal ini. Makna dari pasal ini adalah :
1)
Adanya
kemungkinan bahwa isi undang-undang
menyimpang dari undang-undang dasar.
Hakim atau
siapapun tidak mempunyai hak uji materiil terhadap undang-undang tersebut.
Artinya, isi undang-undang itu tidak boleh diuji apakah bertentangan dengan
undang-undang dasar atau/dan keadilan
atau tidak, hak tersebut hanya dimiliki oleh pembuat undang-undang. Dan Hakim
hanya memiliki hak formil, yaitu hak untuk menyelidiki apakah undang-undang
tersebut pada saat dibentuknya adalah sesuai acara yang sah.
BAB III
Asas – Asas Hukum
1.
Pengetian Asas – Asas Hukum
Menurut terminologis, yang dimaksud dengan istilah asas ada dua
pengertian. Arti asas yang pertama adalah dasar, alas, atau pondamen. Sedangkan
arti asas yang kedua adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar tumpuan
berpikir atau berpendapat, dan sebagainya.[12]
Sedangkan menurut R.H Soebroto Brotodiredjo, asas (prinsip) adalah
suatu sumber atau sebab yang menjadi pangkal tolak sesuatu; hal yang inherent
dalam segala sesuatu, yang menentukan hakekatnya; sifat esensial.[13]
Lebih jauh Bellefroid Mengatakan:[14]
“ Asas hokum umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hokum
positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan – aturan
yang lebih umum. Asas hukum umum merupakan pengendapan dari hukum positif.”
Pendapat terakhir dari Satjipto Rahardjo. Ia mengatakan Bahawa:[15]
“ Asas hukum adalah unsure yang penting dan pokok dari peraturan
hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan
hukm atau ia adalah sebagai ratio legisnya peraturan hukum”
Dari beberapa pendapat tadi kita dapat menyimpulkan, bahwa yang
dinamakan asas hukum adalah dasar dasar umum yang terkandung dalam peraturan
hukum,dasar dasar umum tersebut merupakan sesuatu yang mengandung nilai etis.
2.
Beberapa Asas Hukum Yang Kita Kenal
Sebagai ilustrasi bahwa asas hukum merupakan jiwa dari peratuan
hukum dapat dikemukakan contoh sebagai berikut:
Ketika seseorang melakukan perbuatan dursila yang merugikan orang
lain, ia harus mengganti kerugian itu (asas hukum). Sedangkan norma hukumnya,
adalah pasal 1365 KUH perdata.
Di bawah ini beberapa contoh asas hukum:
a)
Audi
et alteram partem atau audiatur
et altera pars, adalah bahwa para pihak harus didengar.
b)
Bis
de eadem re ne sit actio mengenai
perkara yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya.
c)
De
gustibus non est disputandum, mengenai
selera tidak dapat disengketakan
d)
Errare
humanum est, turpe in errore perseverare. Membuat
kekeliruan itu menusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus
kekeliruan
e)
Geen
straf zonder schuld, tiada hukuman
tanpa kesalahan.
f)
Hodi
mihi cras tibi, ketimpangan
atau ketidak adilan yang menyentuh perasaan, retap tersimpan dalam hati nurani
rakyat.
g)
In
dubio pro reo, dalam keragu –
raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi terdakwa.
h)
Nullum
crimen nulla poena sine lege, Tidak
ada kejahatan tanpa peraturan perundang – undangan yang mengaturnya
i)
Lex
superiori derogat lege priori, Peraturan
yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah , lihat
dalam pasal 7 UU No.10 Tahun 2004
dalam pasal 7 UU No.10 Tahun 2004
j)
Lex
posteriori derogat lege priori, Peraturan
yang terbaru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya . pahami juga lex
prospicit , non res cipit.
k)
Lex
specialis derogate lege generali, Peraturan
yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum , lihat
Pasal 1 KUHD.
l)
Res
judicata pro veritate habeteur, Putusan
hakim dianggap benar sampai ada putusan hakim lain yang Mengoreksinya
m)
Lex
dura set tamen scripta, Undang – undang
bersifat memaksa , sehingga tidak dapat diganggu gugat
n)
Die
normatieven kraft des faktischen, Perbuatan
yang dilakukan berulang kali memiliki kekuatan normative , lihat Pasal 28 UU
No.4 tahun 2004
0 comments:
Post a Comment