1. Pengertian
“Judicial
Review” (hak uji materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji
kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif
legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh
hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan cabang
kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekensi dari dianutnya prinsip
‘checks and balances’ berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of
power).[1] Judicial
review adalah pengujian oleh lembaga
yudikaif tentang konsistensi UU terhadap UUD atau peraturan perundang-undangan
terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[2]
Mauro Capelletti, secara substantif mengartikan judicial
reviewsebagai sebuah proses penerjemahan nilai-nilai yang ditentukan oleh
konstitusi melalui sebuah metode tertentu untuk menjadi suatu keputusan
tertentu.[3]
Pengujian
judicial itu sendiri dapat bersifat formil atau materiel (formele
toetsingsrecht
en materiele toetsingsrecht) . Pengujian formil biasanya terkait dengan
soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang
membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan
tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan.
Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh
lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.[4]
Sedangkan
pengujian materiel berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu
peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut
kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan
norma-norma yang berlaku umum.
2.
Mekanisme Beracara dalam Judicial Review
a) PENGAJUAN JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH AGUNG
Kewenangan Mahkamah
Agung (“MA”) terkait dengan judicial reviewadalah sebagai berikut:
1) MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
2) MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.[5]
baca juga perundang - undanga
baca juga perundang - undanga
Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada MA dan dibuat secara tertulis dan rangkap sesuai keperluan dalamBahasa Indonesia.[6] Permohonan judicial review hanya dapat dilakukan oleh pihak yangmenganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
1) Perorangan warga negara Indonesia;
2) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
3) Badan hukum publik atau badan hukum privat.[7]
Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: 1) Nama dan alamat pemohon; 2) Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa: Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawahundang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yanglebih tinggi; dan/atau Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yangberlaku; dan 3) Hal-hal yang diminta untuk diputus.[8]
Permohonan judicial review ke MA diatur lebih rinci dalam Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil (“Perma 1/2004”) dengan menggunakan terminologi Permohonan Keberatan. Permohonan keberatan diajukan kepada MA dengan cara:
1) Langsung ke MA; atau
2) Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat
kedudukan Pemohon. (lihat Pasal 2 ayat [1] Perma 1/2004)
3) Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak
ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 2 ayat [4]
Perma 1/2004).
4) Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri (Pasal 2 ayat [5] Perma
1/2004).
5) Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke Mahkamah Agung
(Pasal 3 Perma 1/2004):
i. Didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung;
ii. Dibukukan dalam buku register permohonan;
iii. Panitera Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas dan apabila
terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon Keberatan atau
kuasanya yang sah;
6) Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri
(Pasal 4 Perma 1/2004):
i. Didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri;
ii. Permohonan atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan
diberikan tanda terima;
iii. Permohonan dibukukan dalam buku register permohonan;
iv. Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan
keberatan yang telah didatarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang sah, dan
apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya
yang sah.
2. PENGAJUAN JUDICIAL REVIEWKE MAHKAMAH KONSTITUSI
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 huruf a jo. Pasal 10UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”), salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) adalahmenguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon judicial review adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (Pasal 51 ayat [1] UU MK):
a) Perorangan warga negara Indonesia;
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c) Badan hukum publik atau privat; atau
d) Lembaga negara.
Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[9] Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap (lihat Pasal 29 UUMK) yang memuat sekurang-kurangnya:
a) Identitas Pemohon, meliputi:
i. Nama
ii. Tempat tanggal lahir/ umur – Agama
iii. Pekerjaan
iv. Kewarganegaraan
v. Alamat Lengkap
vi. Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada)
b) Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
i. Kewenangan Mahkamah;
ii. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang
jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji
iii. Alasan permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.
iii. Alasan permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.
c) Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian
formil, yaitu:
i. Mengabulkan permohonan Pemohon;
ii. Menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan UU berdasarkan UUD 1945;
iii. Menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
d) Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian
materiil, yaitu:
i. Mengabulkan permohonan Pemohon;
ii.Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU
dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
iii. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU
dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[10]
Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut yaitu alat bukti berupa (Pasal 31 ayat [2] jo. Pasal 36 UU MK):
a) Surat atau tulisan;
b) Keterangan saksi;
c) Keterangan ahli;
d) Keterangan para pihak;
e) Petunjuk; dan
f) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu.
Di samping diajukan dalam bentuk tertulis permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk) atau yang serupa dengan itu.[11] Tata cara pengajuan permohonan:
a) Permohonan diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan.
b) Proses pemeriksaan kelengkapan administrasi permohonan bersifat
terbuka yang dapat diselenggarakan melalui forum konsultasi oleh talon Pemohon
dengan Panitera.
c) Petugas Kepaniteraan wajib memeriksa kelengkapan alat bukti yang
mendukung permohonan sekurang-kurangnya berupa:
i. Bukti diri Pemohon sesuai dengan kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a. foto kopi identitas diri berupa KTP dalam hal Pemohon adalah
perorangan warga negara Indonesia,
b. bukti keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU dalam hal Pemohon
adalah masyarakat hukum adat,
c. akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat
dalam hal Pemohon adalah badan hukum,
d. peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang
bersangkutan dalam hal Pemohon adalah lembaga negara.
ii. Bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan;
iii. Daftar talon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi;
iv. Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila dipandang perlu.
a) Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas permohonan
dinyatakan diterima oleh Petugas Kepaniteraan dengan memberikan Akta Penerimaan
Berkas Perkara kepada Pemohon.
b) Apabila permohonan belum lengkap, Panitera Mahkamah memberitahukan
kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang harus dipenuhi, dan Pemohon
harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
sejak diterimanya Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas.
c) Apabila kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (7) tidak
dipenuhi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tersebut
tidak diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan
pengembalian berkas permohonan.
[1]Dalam
sistem ‘judicial review’ oleh Mahkamah Konstitusi di Jerman malah ditentukan
pula adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji putusan Mahkamah
Agung. Dengan demikian, secara akademis, dapat dikatakan bahwa objek yang dapat
diuji melalui mekanisme ‘judicial review’ oleh hakim konstitusi itu dapat
mencakup (i) legislative acts, (ii) executive acts, dan juga (iii) judicial
decisions. Jimly Asshiddiqie, Catatan Kompilasi Peraturan tentang Mahkamah
Konstitusi di 45 Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, belum
diterbitkan
[2]Moh.
Mahfud MD, “Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi”. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm. 37.
[3]Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal 6
[4]Tentang
ini, baca Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung, 1997,
hal.6-15.
[5](Lihat Pasal 31 ayat [1] dan [2] UU
No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung – UU 5/2004)
[6](lihatPasal
31A ayat [1] UU No. 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Keduaatas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung –
UU 3/2009).
[7](lihat Pasal
31A ayat [2] UU 3/2009)
[8](lihat Pasal 31A ayat [3] UU 3/2009)
[9](lihatPasal
30 ayat [1] UU MK).
[10](lihat Pasal
31 UU MK jo. Pasal 5 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman
Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang – Peraturan MK 6/2005).
[11](lihat Pasal
5 ayat [2] Peraturan MK 6/2005).
[12](lihat Pasal
6 Peraturan MK 6/2005)
0 comments:
Post a Comment